
Lebih luas lagi makna
Ramadhan adalah bulan persatuan umat. Selain itu juga bulan kepedulian kepada
umat agar segala persoalan umat terurusi dengan baik. Sehingga Ramadhan tidak
berlalu sebagaimana momen biasa yang tidak ada bedanya dengan bulan lainnya.
Selayaknya Ramadhan juga merupakan perubahan yang bersifat sosial tidak
terbatas pada individu.
Tulisan ini akan membahas
beberapa makna puasa Ramadhan dari sisi politik. Tentunya terkait politik dalam
pandangan Islam. Selama ini politik sering diidentikan dengan kekuasaan, saling
menjatuhkan, sikut-memyikut antarlawan politik, dan intinya uang. Hal itu
menjadikan politik sebagai sesuatu yang kotor dan najis. Tidak layak umat Islam
membahas politik. Apalagi membahasnya di dalam masjid dan ceramah.
Sungguh politik tersebut
merupakan buah dari politik demokrasi-kapitalis yang kotor. Politik yang tidak
memperhatikan etika dan hanya fokus pada kekuasaan. Berbeda dengan makna
politik dalam Islam. Islam sebagai agama mengatur keseluruhan aspek kehidupan
(ibadah, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan muamalah). Politik
berasal dari kata sasa-yasusu-siyasatan, bermakna pengurusan
umat. Sehingga lebih detail lagi makna politik dalam Islam adalah mengurusi
urusan umat baik dalam negeri maupun luar negeri.
Sistem politik dalam
Islam mengharuskan pelakunya untuk terikat dengan hukum syara’. Pengaturan
kehidupan pun sesuai dengan syariat Islam dan dilandasi aqidah islam. Hal
inilah yang menjadikan Islam tidak sekadar agama ritual. Lebih dari itu sebagai
pengatur hidup manusia di muka bumi ini.
Lalu dimana makna politik
puasa? Nah,inilah bahasan pentingnya. Ada tiga makna politik yang terkandung
dalam puasa. Pertama, persatuan umat. Kedua, pengaturan
umat dengan sistem Islam. Ketiga, pencampakan sekularisme dan
perubahan menuju Islam.
Pertama
Persatuan umat atau
disebut dengan ukhuwah merupakan pokok penting dalam berpuasa.
Allah Swt mewajibkan berpuasa (QS Al Baqoroh 183) dengan seruan bahwa umat
Islam berpuasa secara bersamaan. Kebersamaan dalam berpuasa akan menjadikan
umat semakin memaknai bahwa seruan dari Allah Swt adalah perekat. Karena
persatuan umat diikat oleh keimanan (aqidah islamiyah) tanpa membedakan batas
teritorial umat Islam.
Ibadah puasa merupakan
ibadah tauqifiyah, artinya waktu dan caranya mengikuti
Rasulullah Saw. Tidak boleh umat Islam berbeda dalam mengawali maupun
mengakhiri Ramadhan. Anehnya hal ini ditemui saat ini ketika umat tidak
memiliki pemersatu seperti Rasulullah dan para khalifah sesudahnya. Fenomena
seperti ini seharusnya menjadi tamparan bagi umat Islam. Padahal umat Islam
adalah umat yang satu. Hanya karena perbedaan metode, perhitungan, dan wilayah
saja mereka tidak bersatu dalam puasa. Siapa yang merugi? Tentu umat Islam.
Siapa yang paling bertanggung jawab? Merekelah yang diamanahi untuk mengurusi
urusan umat? Mengingat hal ini terkait halal-haram berpuasa.
Jika dilihat dari hadits “Berpuasalah
kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya
(hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah
hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” [HR. Bukhari 4/106
dan Muslim 1081, dari Abu Hurairah]. Maka jelas sekali rasulullah
tidak menyuruh umat Islam di negeri atau di wilayah tertentu. Bahkan juga tidak
untuk golongan tertentu, melainkan seruannya global (universal) untuk umat
islam di seluruh belahan negeri.
Jika yang dijadikan
patokan adalah melihat bulan (hilal). Maka tidak akan terjadi 1 Ramadhan atau 1
Syawal ada dua hari. Padahal bulan hanya satu. Ilmu hisab dijadikan sebagai
bantuan dalam menghitung jumlah hari dalam satu bulan. Serta digunakan untuk
menentukan waktu yang tepat ru’yatul hilal (melihat bulan
awal). Seharusnya umat Islam sadar dan mulai kembali kepada manhaj yang benar
sebagaimana perintah Allah dan Rasul-Nya.
Sebagaimana kondisi pada tahun ini ketika umat Islam berbeda
dalam mengawali puasa. Harus ada tawaran solutif dari para cendekiawan muslim,
ormas maupun jamaah Islam. Mereka harus mengingatkan penguasa jika melenceng
dari syariah. Maka untuk mengawali puasa secara bersamaan dapat menggunakan
metoderu’yat global. Umat Islam semenjak dulu senantiasa mengawali dan
mengakhiri puasa secara bersama-sama. Sebagaimana yang dicontohkan pengikut
madzhab syafi’i yang berada di ibu kota negara Khilafah dan daerah
disekitaranya. Mereka mengawali dan mengakhiri puasa bersama-sama dengan
madzhab lainnya. Demi persatuan umat dan ketaatan kepada khalifah. Semua imam
madzhab menyadari bahwa: “ra’yul imam yarfa’ul khilaf—perintah imam
menghilangkan perbedaan”. Jangan
sampai hanya karena terpetak-petak dengan wilayah negara masing-masing umat
Islam tidak bersatu. Bukankah yang disembah umat Islam sama? Dan kitabnya juga
sama? Rasul-Nya sama? Sudah saatnya umat islam bersatu dalam panji laailaha illallah muhammadar rasulullah.Panji yang dikibarkan institusi Khilafah
Islamiyah.
Kedua
Jika Ramadhan datang ada
hal yang biasa dilakukan oleh penguasa yaitu menutup tempat maksiat. Bahkan ada
peraturan khusus untuk melarang tempat maksiat beroperasi. Misalnya tempat
prostitusi, hiburan malam, dan lainnya. Hal semacam ini patut disyukuri
mengingat umat Islam ingin menjalankan puasa dengan khusyuk dan hikmat.
Rasulullah menegaskan
bahwa penguasa adalah seperti penggembala. Tugas utama mengurusi urusan umat
dengan sebaik-baiknya. Karena Allah akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat
kelak. Untuk mengatur urusan umat maka dengan syariat Islam. Sudah seharusnya
penguasa menutup dan melarang tempat-tempat maksiat. Tentu tidak hanya Ramadhan
ditutup lalu setelah itu dibuka lagi. Ini sama saja membiarkan umat terjerumus
ke dalam lubang dua kali. Padahal esensi puasa Ramdhan adalah taqwa.
Terkait Ramadhan sebagai
bulan pengaturan umat dengan syariah. Hal ini selaras dengan diturunkan
Al-Quran pada bulan Ramadhan. Penguasa selayaknya membuat kebijakan sesuai
dengan syariah. Karena sebagai bagian dari konsekuensi keimanan. Islam
menggariskan jika penguasa dipilih untuk menjalankan syariah. Bahkan umat Islam
sesungguhnya berharap syariah bisa diterapkan dan mengatur kehidupan mereka.
Begitu pula dengan puasa.
Banyak dai, ulama, dan mubaligh yang senantiasa menyampaikan kewajiban puasa
(QS Al Baqoroh:183). Umat pun sudah menghafalnya karena ayat ini menjadi
landasan puasa. Yang patut diingat. Banyak ayat yang senada dengan QS Al
Baqoroh:183 yang seharusnya jadi perhatian. Mengingat ayat-ayat Al Quran sudah
menjadi standar hidup umat Islam. Misalnya, kutiba ‘alaikum qishash-diwajibkan
atas kamu qishas (QS Al Baqoroh:178). Kutiba ‘alaikum al-qital –diwajibakan
atas kalian berperang (QS Albaqoroh 216).
Ayat-ayat di atas tentu
tidak bisa ditolak oleh orang-orang beriman. Ayat tersebut menuntut untuk
diimani dan dilaksanakan. Baik oleh individu atau penguasa. Jika puasa saja
bisa dilaksanakan setiap individu. Kenapa untuk hukuman qishash dan perang
tidak dilaksanakan? Tidak boleh hanya karena alasan melanggar HAM atau
kebebasan hukum-huku yang lain tidak dilaksananakan. Mengingat konsekuensi
keimanan menuntut pelaksanaan syariah secara kaffah (QS Al Baqoroh:208).
Sesungguhnya seruan
pelaksanaan hukum qishas dan perang ditujukan kepada penguasa. Terlebih
penguasa muslim. Tidak bisa hukum qishas dan perang dilakukan individu. Kalau
individu yang melaksanakan maka akan senantiasa berbenturan. Maka penguasa
negeralah yang bertanggung jawab.
Kesungguhan penguasa
dalam menerapakan syariah Islam tidak boleh pilih-pilih. Jangan hanya Perda
Maksiat saja yang diundangkan. Lebih dari itu seharusnya menjadikan Quran
sebagai sumber hukum. Inilah esensi bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan
al Quran. Sehingga nuzulul quran yang diperingati setiap tahun
ada maknanya. Tidak sebatas seremonial semata sebagaimana saat ini. Sudah
selayaknya al-Quran dijadikan pedoman hidup.
Al-Quran sebagai pedoman
hidup mewajibkan umat Islam dan penguasa untuk mengambil dan melaksanakan hukum
yang ada di dalamnya. Sebab al-Quran juga memerintahkan untuk mengambil apa
saja yang diba Nabi dan meninggalkan apa saja yang beliau larang (QS
Al-Hasyr:7). Hal ini menjadikan al-quran dan hadits senantiasa berdampingan.
Ketentuan dan hukum yang dibawa oleh al-quran dan hadits itu mengatur segi dan
dimensi kehidupan (QS an Nahl:89). Berbagai interaksi yang dilakukan manusia,
baik interaksi manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, maupun dengan
sesamanya. Semua berada dalam wilayah al-quran dan hadits.
Hukum-hukum yang erat
kaitan dengan negara meliputi banyak hal. Misalnya, sistem pemerintahan,
ekonomi, pendidikan, sosial, politik luar negeri, sanksi pidana, dan lain-lain.
Hukum tersebut hanya bisa dilakukan oleh penguasa negara. Jika dalam islam
disebut Khalifah atau yang diberi wewenang olehnya.
Karena itu, pengaturan
hidup umat dengan syariah sangat tepat dengan mengambil momen Ramadhan.
Selayaknya penguasa mengambil aturan yang berasal dari Sang Pencipta. Bukan
malah mengambil peraturan buatan manusia. Karena manusia sifatnya terbatas dan
lemah. Momen Ramdhan dan nuzulul quran dapat diwujudkan dengan komitmen untuk
mengurusi dan mengatur umat dengan Syariah. Itulah syariah yang rahmatal
lil ‘alamin. Mengayomi umat Islam dan non-muslim serta alam dan
isinya.Insya Allah.
Ketiga
Ada banyak parikan (Jawa:
pantun) di beberapa baliho yang terpampang di jalan. Salah satunya “Jarene
Kloso Lah Kok Kursi, Jarene Poso Lah Kok Korupsi”. Sekilas makna yang
tersirat begitu dalam terkait penyakit masyarakat yang mewabah negeri ini yaitu
korupsi. Bahkan KPK senantiasa sibuk menangkap para koruptor baik level patas
maupun bawah. Anehnya masih saja banyak korupsi yang terjadi. Bahkan banyak
kepala daerah sekitar 60% di Indonesia tersangkut kasus korupsi. Sungguh naif
bukan? Lalu di mana esensi dari puasa yang setiap tahun dilakukan?
Persoalan yang dihadapi
negeri ini tidak hanya korupsi. Banyak kasus ekonomi, hukum, sosial
kemasyarakatan yang senantiasa menghiasai berita di layar kaca. Bahkan tahun
ini Indonesia mendapat gelar sebagai failed state (negara
gagal) dari Fund for Peach. Lantas, kapan negeri ini bisa menyejahterahkan
rakyatnya? Jika selama ini banyak masalah.
Persoalan di daerah juga
sama. Banyak peristiwa yang bisa diamati. Misalnya di bulan Ramadhan masih
banyak tempat hiburan malam yang buka. Pencurian yang melibatkan tiga pasang
suami-istri. Belum lagi ketika masa pendaftaran sekolah. Umat dibuat bingung
dengan pembiayaan pendidikan yang selangit. Tempe yang menjadi makanan favorit
sempat hilang karena harga kedali mahal. Salin itu, kekyaan alam di Indonesia
belum bisa dinikmati umat. Padahal uamatlah pemilik sah. Kesemua itu
membuktikan bahwa penguasa negeri ini masih abai. Solusi yang diberikan belum
tuntas (parsial).
Jika demikian adanya maka
ada yang salah terkait dengan pengurusan umat. Ada dua kemungkinan yaitu orang
dan sistem. Orang yang diberikan kekuasaan kurang amanah dan sistem yang
dipakai salah. Selama ini sistem yang dipakai berbentuk kapitalis-sekular.
Semua dihitung dengan asas manfaat dan memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya
muncul orang-orang yang sekular dan matrealistik. Gaya hidup hedonis, politik
oportunistik, pendidikan yang sekularistik, dan hukum yang carut marut.
Sudah seharusnya sistem
kapitalis-sekular ini dicampakan dari kehidupan. Karena sistem itulah yang menyebabkan
segala kerusakan dan kedzaliman. Tentunya Allah sudah mengingatkan umat ini
bahwa segala kerusakan disebabkan ulah tangan manusia.(ar ruum: 41). Maka umat
harus sadar dan segera menyampakkan kapitalis-sekular. Kemudian diganti dengan
sistem dari Allah Swt, Dzat yang menciptakan manusia. Itulah syariah Islam.
Kenapa harus Syariah
Islam? Karena hukum Allah Swt berkeadilan dan Allah Swt tahu kebutuhan manusia.
Ibaratkan pabrik Mobil X. Untuk perawatan mobil dan sebagainaya maka harus
menggunakan buku petunjul dari mobil X. Bukan pakai buku petunjuk mobil Y. Jika
salah petunjuk yang terjadi maka kerusakan mobil. Apalagi dengan manusia? Maka
memilih syariah Islam adalah alasan logis, masuk akal, dan menentramkan jiwa.
Inilah buah ketaqwaan berupa meninggalkan sekularisme dan mengambil sistem
Islam.
Untuk mengawali perubahan
menuju ke sistem Islam, harus ada dakwah. Dakwah yang menjelaskan Islam sebagai
sistem kehidupan. Baik aqidah maupun syariah. Dakwah yang menunjukan kepada
umat bahwa Islam rahmatan lil ‘alamin jika diterapkan dalam
bingkai Khilafah. Seharusnya jamaah dakwah manapun menyerukan perubahan ke arah
sistem Islam sebagaimana metode kenabian. Jika tidak dakwah untuk penerapan
syariah Islam dalam bingkai Khilafah. Lantas, sampai kapan umat ini akan
bangkit dari keterpurukan?
Maka dalam hal ini,
Hizbut Tahrir senantiasa menyerukan kepada umat. Jika ingin Indonesia dan
negeri-negeri muslim lainnya sejahtera. Serta untuk menjawab persoalan yang
terjadi di dunia. Terapkanlah Syariah dalam bingkai Khilafah. Syariah itu
aturannya dan Khilafah penjaganya. Inilah esensi dakwah.