Minggu, 04 Agustus 2013

Makna Politik Puasa Ramadhan (by:WAHYUDI SMT & UST HANIF SMT)

Sudah banyak manusia yang mengelu-elukan bulan Ramdhan. Mulai bulan penuh rahmat, ampunan, berkah, hingga pembebasan neraka. Bulan Ramadhan juga dimaknai sebagai bulan pengekang segala kenikmatan dan hawa nafsu. Ada juga yang memaknai bulan Ramdhan sebagai bulan jihad dan perjuangan untuk memberangus kemasksiatan. Sungguh pemaknaan yang luar biasa dan Ramdhan menjadi magnet tersendiri bagi umat Islam.

Lebih luas lagi makna Ramadhan adalah bulan persatuan umat. Selain itu juga bulan kepedulian kepada umat agar segala persoalan umat terurusi dengan baik. Sehingga Ramadhan tidak berlalu sebagaimana momen biasa yang tidak ada bedanya dengan bulan lainnya. Selayaknya Ramadhan juga merupakan perubahan yang bersifat sosial tidak terbatas pada individu.

Tulisan ini akan membahas beberapa makna puasa Ramadhan dari sisi politik. Tentunya terkait politik dalam pandangan Islam. Selama ini politik sering diidentikan dengan kekuasaan, saling menjatuhkan, sikut-memyikut antarlawan politik, dan intinya uang. Hal itu menjadikan politik sebagai sesuatu yang kotor dan najis. Tidak layak umat Islam membahas politik. Apalagi membahasnya di dalam masjid dan ceramah.

Sungguh politik tersebut merupakan buah dari politik demokrasi-kapitalis yang kotor. Politik yang tidak memperhatikan etika dan hanya fokus pada kekuasaan. Berbeda dengan makna politik dalam Islam. Islam sebagai agama mengatur keseluruhan aspek kehidupan (ibadah, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan muamalah). Politik berasal dari kata sasa-yasusu-siyasatan, bermakna pengurusan umat. Sehingga lebih detail lagi makna politik dalam Islam adalah mengurusi urusan umat baik dalam negeri maupun luar negeri.

Sistem politik dalam Islam mengharuskan pelakunya untuk terikat dengan hukum syara’. Pengaturan kehidupan pun sesuai dengan syariat Islam dan dilandasi aqidah islam. Hal inilah yang menjadikan Islam tidak sekadar agama ritual. Lebih dari itu sebagai pengatur hidup manusia di muka bumi ini.

Lalu dimana makna politik puasa? Nah,inilah bahasan pentingnya. Ada tiga makna politik yang terkandung dalam puasa. Pertama, persatuan umat. Kedua, pengaturan umat dengan sistem Islam. Ketiga, pencampakan sekularisme dan perubahan menuju Islam.

Pertama

Persatuan umat atau disebut dengan ukhuwah merupakan pokok penting dalam berpuasa. Allah Swt mewajibkan berpuasa (QS Al Baqoroh 183) dengan seruan bahwa umat Islam berpuasa secara bersamaan. Kebersamaan dalam berpuasa akan menjadikan umat semakin memaknai bahwa seruan dari Allah Swt adalah perekat. Karena persatuan umat diikat oleh keimanan (aqidah islamiyah) tanpa membedakan batas teritorial umat Islam.

Ibadah puasa merupakan ibadah tauqifiyah, artinya waktu dan caranya mengikuti Rasulullah Saw. Tidak boleh umat Islam berbeda dalam mengawali maupun mengakhiri Ramadhan. Anehnya hal ini ditemui saat ini ketika umat tidak memiliki pemersatu seperti Rasulullah dan para khalifah sesudahnya. Fenomena seperti ini seharusnya menjadi tamparan bagi umat Islam. Padahal umat Islam adalah umat yang satu. Hanya karena perbedaan metode, perhitungan, dan wilayah saja mereka tidak bersatu dalam puasa. Siapa yang merugi? Tentu umat Islam. Siapa yang paling bertanggung jawab? Merekelah yang diamanahi untuk mengurusi urusan umat? Mengingat hal ini terkait halal-haram berpuasa.

Jika dilihat dari hadits  “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” [HR. Bukhari 4/106 dan Muslim 1081, dari Abu Hurairah]. Maka jelas sekali rasulullah tidak menyuruh umat Islam di negeri atau di wilayah tertentu. Bahkan juga tidak untuk golongan tertentu, melainkan seruannya global (universal) untuk umat islam di seluruh belahan negeri.

Jika yang dijadikan patokan adalah melihat bulan (hilal). Maka tidak akan terjadi 1 Ramadhan atau 1 Syawal ada dua hari. Padahal bulan hanya satu. Ilmu hisab dijadikan sebagai bantuan dalam menghitung jumlah hari dalam satu bulan. Serta digunakan untuk menentukan waktu yang tepat ru’yatul hilal (melihat bulan awal). Seharusnya umat Islam sadar dan mulai kembali kepada manhaj yang benar sebagaimana perintah Allah dan Rasul-Nya.
Sebagaimana kondisi pada tahun ini ketika umat Islam berbeda dalam mengawali puasa. Harus ada tawaran solutif dari para cendekiawan muslim, ormas maupun jamaah Islam. Mereka harus mengingatkan penguasa jika melenceng dari syariah. Maka untuk mengawali puasa secara bersamaan dapat menggunakan metoderu’yat global. Umat Islam semenjak dulu senantiasa mengawali dan mengakhiri puasa secara bersama-sama. Sebagaimana yang dicontohkan pengikut madzhab syafi’i yang berada di ibu kota negara Khilafah dan daerah disekitaranya. Mereka mengawali dan mengakhiri puasa bersama-sama dengan madzhab lainnya. Demi persatuan umat dan ketaatan kepada khalifah. Semua imam madzhab menyadari bahwa: “ra’yul imam yarfa’ul khilaf—perintah imam menghilangkan perbedaan”. Jangan sampai hanya karena terpetak-petak dengan wilayah negara masing-masing umat Islam tidak bersatu. Bukankah yang disembah umat Islam sama? Dan kitabnya juga sama? Rasul-Nya sama? Sudah saatnya umat islam bersatu dalam panji laailaha illallah muhammadar rasulullah.Panji yang dikibarkan institusi Khilafah Islamiyah. 
Kedua
Jika Ramadhan datang ada hal yang biasa dilakukan oleh penguasa yaitu menutup tempat maksiat. Bahkan ada peraturan khusus untuk melarang tempat maksiat beroperasi. Misalnya tempat prostitusi, hiburan malam, dan lainnya. Hal semacam ini patut disyukuri mengingat umat Islam ingin menjalankan puasa dengan khusyuk dan hikmat.

Rasulullah menegaskan bahwa penguasa adalah seperti penggembala. Tugas utama mengurusi urusan umat dengan sebaik-baiknya. Karena Allah akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Untuk mengatur urusan umat maka dengan syariat Islam. Sudah seharusnya penguasa menutup dan melarang tempat-tempat maksiat. Tentu tidak hanya Ramadhan ditutup lalu setelah itu dibuka lagi. Ini sama saja membiarkan umat terjerumus ke dalam lubang dua kali. Padahal esensi puasa Ramdhan adalah taqwa.

Terkait Ramadhan sebagai bulan pengaturan umat dengan syariah. Hal ini selaras dengan diturunkan Al-Quran pada bulan Ramadhan. Penguasa selayaknya membuat kebijakan sesuai dengan syariah. Karena sebagai bagian dari konsekuensi keimanan. Islam menggariskan jika penguasa dipilih untuk menjalankan syariah. Bahkan umat Islam sesungguhnya berharap syariah bisa diterapkan dan mengatur kehidupan mereka.

Begitu pula dengan puasa. Banyak dai, ulama, dan mubaligh yang senantiasa menyampaikan kewajiban puasa (QS Al Baqoroh:183). Umat pun sudah menghafalnya karena ayat ini menjadi landasan puasa. Yang patut diingat. Banyak ayat yang senada dengan QS Al Baqoroh:183 yang seharusnya jadi perhatian. Mengingat ayat-ayat Al Quran sudah menjadi standar hidup umat Islam. Misalnya, kutiba ‘alaikum qishash-diwajibkan atas kamu qishas (QS Al Baqoroh:178). Kutiba ‘alaikum al-qital –diwajibakan atas kalian berperang (QS Albaqoroh 216).

Ayat-ayat di atas tentu tidak bisa ditolak oleh orang-orang beriman. Ayat tersebut menuntut untuk diimani dan dilaksanakan. Baik oleh individu atau penguasa. Jika puasa saja bisa dilaksanakan setiap individu. Kenapa untuk hukuman qishash dan perang tidak dilaksanakan? Tidak boleh hanya karena alasan melanggar HAM atau kebebasan hukum-huku yang lain tidak dilaksananakan. Mengingat konsekuensi keimanan menuntut pelaksanaan syariah secara kaffah (QS Al Baqoroh:208).

Sesungguhnya seruan pelaksanaan hukum qishas dan perang ditujukan kepada penguasa. Terlebih penguasa muslim. Tidak bisa hukum qishas dan perang dilakukan individu. Kalau individu yang melaksanakan maka akan senantiasa berbenturan. Maka penguasa negeralah yang bertanggung jawab.

Kesungguhan penguasa dalam menerapakan syariah Islam tidak boleh pilih-pilih. Jangan hanya Perda Maksiat saja yang diundangkan. Lebih dari itu seharusnya menjadikan Quran sebagai sumber hukum. Inilah esensi bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan al Quran. Sehingga nuzulul quran yang diperingati setiap tahun ada maknanya. Tidak sebatas seremonial semata sebagaimana saat ini. Sudah selayaknya al-Quran dijadikan pedoman hidup.

Al-Quran sebagai pedoman hidup mewajibkan umat Islam dan penguasa untuk mengambil dan melaksanakan hukum yang ada di dalamnya. Sebab al-Quran juga memerintahkan untuk mengambil apa saja yang diba Nabi dan meninggalkan apa saja yang beliau larang (QS  Al-Hasyr:7). Hal ini menjadikan al-quran dan hadits senantiasa berdampingan. Ketentuan dan hukum yang dibawa oleh al-quran dan hadits itu mengatur segi dan dimensi kehidupan (QS an Nahl:89). Berbagai interaksi yang dilakukan manusia, baik interaksi manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, maupun dengan sesamanya. Semua berada dalam wilayah al-quran dan hadits.

Hukum-hukum yang erat kaitan dengan negara meliputi banyak hal. Misalnya, sistem pemerintahan, ekonomi, pendidikan, sosial, politik luar negeri, sanksi pidana, dan lain-lain. Hukum tersebut hanya bisa dilakukan oleh penguasa negara. Jika dalam islam disebut Khalifah atau yang diberi wewenang olehnya.
Karena itu, pengaturan hidup umat dengan syariah sangat tepat dengan mengambil momen Ramadhan. Selayaknya penguasa mengambil aturan yang berasal dari Sang Pencipta. Bukan malah mengambil peraturan buatan manusia. Karena manusia sifatnya terbatas dan lemah. Momen Ramdhan dan nuzulul quran dapat diwujudkan dengan komitmen untuk mengurusi dan mengatur umat dengan Syariah. Itulah syariah yang rahmatal lil ‘alamin. Mengayomi umat Islam dan non-muslim serta alam dan isinya.Insya Allah.

Ketiga

Ada banyak parikan (Jawa: pantun) di beberapa baliho yang terpampang di jalan. Salah satunya “Jarene Kloso Lah Kok Kursi, Jarene Poso Lah Kok Korupsi”. Sekilas makna yang tersirat begitu dalam terkait penyakit masyarakat yang mewabah negeri ini yaitu korupsi. Bahkan KPK senantiasa sibuk menangkap para koruptor baik level patas maupun bawah. Anehnya masih saja banyak korupsi yang terjadi. Bahkan banyak kepala daerah sekitar 60% di Indonesia tersangkut kasus korupsi. Sungguh naif bukan? Lalu di mana esensi dari puasa yang setiap tahun dilakukan?

Persoalan yang dihadapi negeri ini tidak hanya korupsi. Banyak kasus ekonomi, hukum, sosial kemasyarakatan yang senantiasa menghiasai berita di layar kaca. Bahkan tahun ini Indonesia mendapat gelar sebagai failed state (negara gagal) dari Fund for Peach. Lantas, kapan negeri ini bisa menyejahterahkan rakyatnya? Jika selama ini banyak masalah.

Persoalan di daerah juga sama. Banyak peristiwa yang bisa diamati. Misalnya di bulan Ramadhan masih banyak tempat hiburan malam yang buka. Pencurian yang melibatkan tiga pasang suami-istri. Belum lagi ketika masa pendaftaran sekolah. Umat dibuat bingung dengan pembiayaan pendidikan yang selangit. Tempe yang menjadi makanan favorit sempat hilang karena harga kedali mahal. Salin itu, kekyaan alam di Indonesia belum bisa dinikmati umat. Padahal uamatlah pemilik sah. Kesemua itu membuktikan bahwa penguasa negeri ini masih abai. Solusi yang diberikan belum tuntas (parsial).

Jika demikian adanya maka ada yang salah terkait dengan pengurusan umat. Ada dua kemungkinan yaitu orang dan sistem. Orang yang diberikan kekuasaan kurang amanah dan sistem yang dipakai salah. Selama ini sistem yang dipakai berbentuk kapitalis-sekular. Semua dihitung dengan asas manfaat dan memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya muncul orang-orang yang sekular dan matrealistik. Gaya hidup hedonis, politik oportunistik, pendidikan yang sekularistik, dan hukum yang carut marut.

Sudah seharusnya sistem kapitalis-sekular ini dicampakan dari kehidupan. Karena sistem itulah yang menyebabkan segala kerusakan dan kedzaliman. Tentunya Allah sudah mengingatkan umat ini bahwa segala kerusakan disebabkan ulah tangan manusia.(ar ruum: 41). Maka umat harus sadar dan segera menyampakkan kapitalis-sekular. Kemudian diganti dengan sistem dari Allah Swt, Dzat yang menciptakan manusia. Itulah syariah Islam.

Kenapa harus Syariah Islam? Karena hukum Allah Swt berkeadilan dan Allah Swt tahu kebutuhan manusia. Ibaratkan pabrik Mobil X. Untuk perawatan mobil dan sebagainaya maka harus menggunakan buku petunjul dari mobil X. Bukan pakai buku petunjuk mobil Y. Jika salah petunjuk yang terjadi maka kerusakan mobil. Apalagi dengan manusia? Maka memilih syariah Islam adalah alasan logis, masuk akal, dan menentramkan jiwa. Inilah buah ketaqwaan berupa meninggalkan sekularisme dan mengambil sistem Islam.

Untuk mengawali perubahan menuju ke sistem Islam, harus ada dakwah. Dakwah yang menjelaskan Islam sebagai sistem kehidupan. Baik aqidah maupun syariah. Dakwah yang menunjukan kepada umat bahwa Islam rahmatan lil ‘alamin jika diterapkan dalam bingkai Khilafah. Seharusnya jamaah dakwah manapun menyerukan perubahan ke arah sistem Islam sebagaimana metode kenabian. Jika tidak dakwah untuk penerapan syariah Islam dalam bingkai Khilafah. Lantas, sampai kapan umat ini akan bangkit dari keterpurukan?
Maka dalam hal ini, Hizbut Tahrir senantiasa menyerukan kepada umat. Jika ingin Indonesia dan negeri-negeri muslim lainnya sejahtera. Serta untuk menjawab persoalan yang terjadi di dunia. Terapkanlah Syariah dalam bingkai Khilafah. Syariah itu aturannya dan Khilafah penjaganya. Inilah esensi dakwah.


0 komentar:

Posting Komentar

Harap komentar yang sopan dan jangan gunakan nama Anonymous. Terima kasih.

Kontak Kami

Bila anda tertarikn dengan training kami, silahkan menghubungi kami melalui jalur dibawah atau pesan langsung disamping.

Alamat Kantor:

Jl.Lidah Wetan Gg 2,No 1 A ,Lakarsantri (Surabaya)

Jam Bekerja:

Senin - Sabtu dari jam 07.00 - 16.00 WIB

Nomor Telepon dan email:

081 946 548 000/085 235 012 770 (Wahyudi)

E-mail:

yudi.wah48@yahoo.com (Wahyudi)